Ketika sebuah mawar basah menyibak wanginya
Parfum-parfum bunga yang kau suka bertabur di sekitar rumahmu
Basah...akibat air bercampur
Entah itu bekas hujan atau air mata dari orang yang menyayangimu
Engkau tetap saja pergi
...
"Aku ingin kertas-kertas itu, Mira" katamu sambil menunjuk ke tumpukkan kertas minyak bekas di gudang rumahku.
"Buat apa? Ibuku mau membakarnya besok" jawabku.
"Kalau kau dan ibumu tidak keberatan, yaaa...". Kamu mulai memasang mimik memelas, andalanmu.
"Sofi, buat apa sih?"
"Aku mau buat sesuatu"
"Aku curiga"
"Hehe...kotak surat untuk Tuhan"
"Maksudmu?"
Kamu hanya membalas dengan tersenyum simpul.
...
Saat terperangkap dalam tubuh kecil kita
Teriakanmu selalu terbang di udara
Bersanding berdua kita berdiri
Menyaingi rantai ayunan yang sudah hampir karatan
Menantang decitan besi di taman bermain
Kita berdua ingin terbang
Kamulah pilotnya
Pilot dalam kehidupanmu dan juga hidupku
Teman yang luar biasa
Tak pernah menangis kala papan ayunan tiba-tiba lepas
Yang berlari gembira ketika Pak Amat menegur dengan sapu kecilnya
Kamu berlari terseok-seok menghindari cerocosan kakek setengah baya itu
Bapak penjaga taman
Taman yang kita akui sebagai bandara kita
Yang kamu agungkan cita-citamu di atasnya
Co-pilot katamu, minimalnya jenjang kariermu yang ingin kamu rintis
Aku hanya ikut-ikutan tertawa dalam ketidakmengertian
Keluguan masa-masa kecil kita yang hanya penuh tawa
Tawa darimu
...
"Orang tuaku bercerai, Sof. Aku tak punya harapan lagi".
"Seperti cerita baru saja kamu, Mir. Kenapa lagi?"
"Aku tak bisa melanjutkan hidup. Aku tak mungkin bisa sekolah lagi. Tanpa ayahku, aku dan ibu hanya berharap pada sepotong kue. Kamu tau, takkan mungkin aku masuk ke jurusan kedokteran. Ayahku tak membantu apa-apa. Dia bangkrut juga."
"Kamu tak mau pilot, hah?"
"Dalam keadaan begini kamu masih saja mengiming-imingku sekolah pilot, Sof?"
"Hehe, santai Mir. Dari dulu aku juga sudah menduga, kamu ini takut ketinggian. Teriakanmu lebih keras dibanding aku. Kalau melihat Pak Amat saja sudah ciut. Bagaimana mau menjadi pilot?"
"Yayaya...walaupun sekolah pilot ataukah sekolah dokter, sama saja aku tak ada harapan. Mungkin sampai di sini saja. Tamat riwayatku"
"Aku heran. Seperti kamu saja yang tau masa depanmu, Mir. Memang besaran mana cita-citamu dengan uang, hah?"
"Mana aku tau, Sof. Cita-cita mana bisa diakumulasikan dengan angka..."
"Kalau kamu tidak bisa mengakumulasikan cita-citamu dengan bentuk angka itu berarti cita-cita memiliki nilai yang sangat besar sehingga tidak bisa dihitung lagi. Cobalah pikir, kamu mengumpulkan harapanmu sejak lama, anggap saja sejak 10 tahun yang lalu, kalau kamu menabung pasti akan terkumpul uang banyak sekali"
"Kamu bagaimana? Tiap hari saja aku susah payah untuk makan, bagaimana mau menabung"
"Benar, tapi kamu menabung di hatimu, Mir. Hatimu lebih kaya dibanding apapun. Hatimu itu milik Tuhan. Ketika kamu berharap dan harapan itu ada di hatimu.. Kamu sudah menabung dengan Tuhan. Biarkan Tuhan menciptakan dengan caranya sendiri. Kamu jangan berhenti berharap".
Aku langsung terdiam. Kata-katamu selaksa buih yang menghapus pasir-pasir kasar di pantai dan meratakannya menjadi halus kembali.
...
Ketika asa yang menghilang
Seorang teman datang memeluk raga
Menunjukkan letak mentari
Agar biasnya menghangatkan hati yang terluka
Segala perandaian yang baik
Terbentuk ucapku atas keajaiban kata-katamu
Kamu yang terbang di langit seolah tau perubahan mimikku
Kamu turun landas menghampiri
Membawa berbagai candy memaniskan senduku
Penuh canda sampai saatnya tiba
...
Perpisahan kita terjadi lebih cepat dari yang kukira. Aku harus pergi ke sekolah kedokteran negeri di kota lain dengan beasiswa. Suatu keajaiban dari Tuhan yang berasal dari harapan-harapan yang dikumpulkan Sofi untukku. Sofi pun lebih parah. Dia harus pergi ke luar negeri. Pelatihan untuk pilot pemula katanya.
"Kamu ini kurus sekali, Sof. Seperti kurang makan saja. Bagaimana kuat mau menerbangkan pesawat, hehe"
"Lemak boleh saja sedikit, Mir. Tapi tulangku besar...ototku pun merekat kuat..haha"
"Asal jangan sakit aja ya kau di sana. Walau kurus jangan sering-sering makan burger juga ya..walau berasal dari daging dan banyak lemak tapi itu jenis makanan siap saji, tidak sehat"
"Ya elaaahh.. ibu dokter sudah pandai ceramah ya sekarang"
"Ooo...tentuuu..aku kan dokter teladan"
"Ya..berusahalah seperti itu, tolonglah pasienmu dengan hati ya..jangan jadi dokter yang materialistis..Okeh?"
"Okeh, Sofi. Kamu juga ya..belajar benar-benar. Jaga penumpangmu agar selamat sampai tujuan"
"Pasti, Mir. Aku pastikan sampai tujuan"Sofi menjawab lirih
...
Radar yang kumiliki tak sekuat punyamu
Tak terlihat tanda-tanda walau ia berbunyi keras
Aku tidak mengerti segala bentuk teknik
Yang ku tau hanya organ-organ yang bernama Latin aneh
Bandaraku adalah sebuah kamar operasi dengan pegangan pisau bedah
Seragamku berlengkap masker dan sarung tangan karet
Ruanganku tak sebesar lapangan pesawatmu
Namun kamu tetap mendaratkan pesawatmu di bandaraku tiba-tiba
Hanya saat orangtuamu datang ke ruang praktekku
Aku ada di sampingmu sekarang
Menyambutmu
...
"Bagaimana pasien ini, Dr.Budi?"aku bertanya pada seniorku.
"Kecil kemungkinan kita, dr.Mira"
"Walau dengan seluruh teknologi yang kita punya, Dok?"
"Walau harus dirujuk ke rumah sakit di luar negeri pun, dr.Mira"
...
Sekian lama waktu yang ku kenal denganmu penuh tawa
Hanya sekejap Tuhan menunjukkan tanda
Tak sampai aku menangkap sinyal-sinyal pertolongan darimu
Kamu sekarang lepas landas
Menuju hartamu yang kau tabung sejak lama
Tuhan menyambutmu
Sepulang dari alkahmu. Ku sempatkan mampir di rumahmu. Masih dalam suasana duka. Bendera hijau 'sarikat kematian' kampung masih ada di depan pagar. Mata kedua orang tuamu sembab. Bahkan ibumu masih menangis. Darinya baru aku tau bahwa kamu ke luar negeri hanya untuk berobat, tidak sekolah pilot. Namun, tak habis pikir kenapa kamu tidak menceritakannya padaku. Mengapa begitu?
Ibumu pun beranjak dan mengeluarkan sesuatu dari dalam koper. Sebuah balon kecil yang belum di tiup .. Di bawahnya ada sebuah surat kecil yang diikatkan dengan tali ke balon tersebut. Ibumu menjelaskan bahwa kamu memiliki kebiasaan menerbangkan balon ke udara yang membawa harapan-harapanmu kepada Tuhan.
Aku terharu menerima balon udara terakhirmu. Ku tiup dan ku bawa ke pekarangan rumahmu. Sebelum melepaskannya ku buka isi pesan yang kamu tulis. Dan dengan air mata kulepas balon udara itu pergi.
...
"Hai, Sof. Sedang apa kamu"
"Menerbangkan balon, kamu mau coba, Mir?"
"Ini kok ada suratnya?"
"Ini surat khusus. Jangan dibuka, ya. hehe.."
"Pelit sekali kamu, Sof"
"Bukan begitu, tapi hanya seorang pilot yang boleh menerbangkan pesawat. Iya, kan?"
"Iya, tapi ini kan balon bukan pesawat"
"Balon ini ada penumpang di dalamnya, jadi harus diterbangkan oleh sang ahli supaya selamat sampai tujuan"
"Ah, kamu berlagak pilot profesional saja, Sof. Boleh aku titip penumpang? Begini-begini aku juga mau diajak terbang"
"Mmm..jangan di sini, kita ke pake ayunan di taman saja, yuk"
"Okeh lah, apa katamu deh"
Kita pun berlarian menuju taman. Taman yang riuh dengan tawa seorang calon pilot dan calon dokter yang masih imut. Yang penuh dengan balon-balon udara harapan. Kamu yang telah menyimpan penyakitmu sejak lama. Kamu yang lemah sejak awal. Dengan balon-balon harapan menyokongku untuk maju di antara harapan-harapanmu. Walau kamu bukan Tuhan kamulah kotak surat dariku untukNya.
"Tuhan, semoga Mira menjadi dokter yang hebat agar aku bisa bertanya tentang 'Kanker' padanya"