Jumat, 06 Mei 2011

This Love for You, Mom

Diposting oleh nbubble46 di 02.14 0 komentar
Tania menghirup secangkir kopi yang tlah disediakan Bi Nah. Pelan-pelan karena kopinya masih agak panas. Malam itu, pukul 11.00pm, Tania baru pulang dari kantornya. Setelah membersihkan badan, Tania kembali menatap tumpukan file di atas meja kerjanya, file2 itu dia bawa dari kantornya. Tumpukan file kasus korupsi Pak Gendro Laksono, Direktur Bank Graha Cipta. Sebenarnya Tania malas untuk ikut tim pansus karena dia mengetahui jika dia masuk dalam tim maka dia akan kehilangan banyak waktu istirahat seperti hari ini, Namun, bosnya yang tegas itu, merekomendasikan Tania sebagai tim penyelidik di dalam kasus ini. Agak menyesal juga bagi Tania, karena dia sendiri tidak memiliki cukup koneksi rekan-rekan yang bisa membantu Tania di Bank itu. Dia bekerja bergantung pada rekan tim yang bekerja langsung di lapangan dan menunggu laporan Ben, sebagai koorlap nya. Tania mengambil sisa file yang belum dia periksa. Sesekali dia mengusap2 kedua matanya yang tampak berair, sesekali membiarkan mulutnya untuk menguap lebar. Saat Bi Nah mematikan lampu ruang depan, beliau menyempatkan untuk menengok Tania di ruang kerjanya. Bi Nah menawari Tania beberapa camilan untuk menemani Tania begadang malam ini. Namun, Tania menolaknya dengan alasan bahwa dia merasa masih belum lapar.

Hari ini tepat 3 bulan semenjak namanya dimasukkan dalam pengusutan kasus korupsi Pak Gendro. Oleh bosnya, Tania dituntut untuk menyimpulkan analisis tentang masalah tersebut besok dalam rapat kerja terbuka. Tania takut, bukan pada wartawan yang akan datang namun lebih pada keraguannya dalam menetapkan analisis yang tepat untuk Pak Gendro. Memang dari slip, kwitansi serta laporan keuangan yang dia terima, Tania memenukan berbagai kejanggalan. Dana yang menyimpang, memusingkan Tania di saat dia harus mengcross-check secara rinci tiap pemasukan dan pengeluaran Bank Graha Cipta. Jelas sekali di mata Tania, sebagai ahli akuntan, dia dapat mengetahui betapa besarnya dana yang digeloyorkan oleh Pak Gendro dari kas perusahaan ke kas tabungannya pribadi. Walau dana tersebut dipindahkan dengan sistem berangsur ke tabungan Pak Gendro yanga ada di salah satu Bank di Swiss, tapi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya menangani kasus korupsi beberapa pejabat besar, Tania paham betul. Semua fakta sudah terungkap, namun Tania masih saja ragu. 

Tumpukan foto yang baru Tania terima dari kurir kemarin sore. Foto2 yang menggambarkan kegiatan Pak Gendro dalam setahun terakhir. Namun, dari semua foto, Tania tertarik pada sebuah foto yang membuat sangat ragu hingga saat ini. Foto tersebut sederhana, menggambarkan Pak Gendro yang sedang bercanda tawa dengan penghuni panti jompo "Sarta Weda". Tania sempat meminta konfirmasi tentang maksud tujuan Pak Gendro ada di sana kepada Bu Rita, pengurus panti jompo tersebut. Dari beliau didapatkan penjelasan bahwa ternyata Pak Gendro tercatat sebagai relawan di panti tersebut, Pak Gendro selain berperan sebagai donatur utama dengan memberikan bantuan sejumlah dana yang besar untuk kegiatan panti namun juga sering berbicara dan menemani para orang tua di sana hampir setiap harinya. Menurut penuturan Bu Rita, kehadiran Pak Gendro selalu dinanti oleh penghuni panti karena beliau merupakan orang yang sangat humoris dan sangat sayang kepada penghuni panti. Setiap Pak Gendro datang, beliau membawakan cerita-cerita lucu, senyuman dan pelukan hangat yang dirindukan penghuni panti dari keluarganya masing-masing.

Tania tertegun, rasanya dia ingin menangis. Sudah jelas Pak Gendro melakukan korupsi, tapi bagaimana dia memenjarakan Pak Gendo? Malu, kecewa serta menyesal dirasakan Tania. Bukan apa-apa, Tania malu, dia yang notabene sudah berpenghasilan lebih dengan cara yang halal pula namun malah tetap membiarkan ibunya,,,ya ibu kandungnya berada di dalam panti jompo "Sarta Weda" dan membiarkan ibunya dirawat oleh orang lain yang tak lain salah satunya oleh Pak Gendro. Tania merasa sudah egois sekali, merasa sangat jahat sekali. Setelah bertahun-tahun ditinggal ayah, ibunya yang sakit-sakitan malah Tania serahkan ke panti jompo dengan alasan Tania terlalu sibuk untuk mengurus ibunya walau ada Bi Nah yang sudah menawarkan bantuan untuk merawat ibunya. Tania sebagai anak tunggal yang dulu manja, merasa dengan merawat ibunya, dia tidak dapat mencapai karir yang dia impi2kan selama ini. Dengan alasan pekerjaan pula, dia sangat jarang menjenguk sang ibu di panti, paling yang ia lakukan hanya menelpon pengurus panti untuk sekedar menanyakan kabar ibunya..itupun hanya untuk satu bulan sekali.

"Andai ku sebutkan saja semua bahwa Pak Gendro memiliki bukti-bukti untuk dijadikan tersangkan resmi dalam kasus korupsi ini, bagaimana dengan nasib panti jompo, bagaimana ibu?". "Ibuku, apakah yang tlah ku lakukan selama ini sangat menyakitimu? Apa aku yang sebenarnya bersalah, aku yang telah melakukan korupsi, yang telah mengkorupsi saat2 hari tuamu yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari aku, anakmu. Bukan dari seseorang yang bermuka dua, bukan dari orang lain?" pikir Tania berkecamuk. Tiba-tiba saja, setelah sekian lama, Tania dapat membayangkan wajah sedih ibunya, merasakan air mata ibunya yang jatuh di atas pipinya. "Oh, Ibuuu..maafkan Tania.....". Tania tertunduk dalam di atas meja kerjanya. Malam pun kian larut.

Rabu, 04 Mei 2011

Shendrom Memories

Diposting oleh nbubble46 di 00.35 0 komentar


Shen berdiri dari kursi goyangnya. Matanya menatap nanar keluar jendela. Meletakkan novel "Glory of Love" yang baru ia baca setengahnya di atas meja ukir bulat di samping perapian. Sebuah meja warisan yang ia terima dari kakeknya, meja yang terbuat dari kayu pohon Bible terkenal itu. Dia menuju ke dekat pintu, mengambil jaket bulu kesayangannya dan mengenakannya segera. Shen mengambil sepatu boot, menutupkan kancing jaketnya lalu melilitkan syal wol hadiah mantan kekasihnya, Eric.

Saat Shen membuka pintu, angin langsung menerpa badannya. Shen sedikit menggigil namun dengan merapatkan jaketnya dia mengunci pintu lalu berjalan keluar rumah menuju pantai. Pantai yang biasa dia datangi karena letak rumahnya sendiri dekat dengan pantai Glierre itu. Bahkan dari jendela kamarnya, dia bisa melihat sunrise dan sunset yang begitu indah.

Shen melewati jalan yang sedikit berkerikil, bercampur dengan pasir-pasir putih lembut di daerah pantai. Hari ini awal Desember, saatnya dimulai peralihan cuaca. Jam tangannya menunjukkan pukul 8 pagi, namun langit menunjukkan kemurungannya, warnanya terlihat gelap ditambah deru angin yang kurang bersahabat. Ayah dan ibu Shen sedang tidak ada di rumah, mereka melakukan perjalanan ke Bali untuk urusan bisnis furniture 'Lourry Boughy' yang sudah mereka geluti 5 tahun terakhir ini. 

Setelah sarapan cokelat panas dengan sandwich preissele tadi pagi, Shen tidak menemukan cara untuk membuat perasaannya tenang. Shen ingin menghubungi orangtuanya namun dia mengurungkan niatnya ketika sadar akan perbedaan waktu antara tempatnya dengan Bali, ya kalau dihitung mungkin orang tuanya sedang tidur lelap saat ini. Dia memutuskan untuk membaca tapi tak sanggup bertahan lama. Pikirannya sedang kacau, tak mungkin cerita novel itu bisa membuatnya agak baikan. Novel "Glory of Love" yang menceritakan tentang perjuangan asmara pekerja tambang imigran dengan kekasihnya seorang putri bos mafia di New York. Cinta yang berakhir dengan sejatinya hingga maut memisahkan saat sang pria ditembak mati oleh kaki tangan calon mertuanya sendiri saat mereka mengira bahwa hubungan mereka sudah direstui, namun ternyata tidak. Sang kekasih yang tak rela prianya telah tiada kemudian menjadi gila hingga akhirnya dia terpaksa dibuang oleh ayahnya sendiri karena malu. Shen sudah tau cerita endingnya, dia tau cerita itu sejak lama karena buku itu telah dia baca berpuluh-puluh kali.

Shen kembali teringat kejadian yang telah ia alami..... Kejadian 5 hari yang lalu di bandara Breuhdoch, ketika ia mengantarkan kedua orangtuanya yang ingin pergi ke Bali. Bersama supir kepercayaan, mereka berangkat ke bandara setelah menjemput Shen dari kampusnya. Bandara pada hari itu sungguh sesak, sepertinya banyak orang yang berlibur ke luar negeri untuk menghindari musim dingin yang menurut ramalan cuaca memungkinkan suhu mencapai -14 derajat Celcius. Orang tua Shen sebenarnya sudah mengajaknya untuk ikut ke Bali, namun, kesibukan Shen sebagai ketua Forum General Papers of Camp di kampusnya membuat dirinya harus menyelasaikan job-job forum tersebut dalam mengisi musim dinginnya sendiri.

Di bandara...
Sambil menunggu orangtuanya mengurus segala barang dan keperluan keberangkatan, Shen memutuskan pergi ke kantin untuk mencari makan. Dia memesan sandwich isi ayam broeket dan sebotol air mineral. Ketika menunggu pesanan datang, iseng Shen memperhatikan orang-orang yang ada di kantin tersebut. Dia terkejut, saat melihat seorang laki-laki. Ya, laki-laki itu yang bermata biru, berkulit putih, hidung mancung, alis yang tipis melengkung hanya potongan rambutnya saja sekarang yang berubah menjadi agak gondrong. Dia Eric, mantan kekasihnya 10 tahun yang lalu, sedang menikmati makanan di meja agak ke pojok timur bersama sesosok wanita yang sepertinya lebih tua 5 tahunan darinya. Shen melihat mereka asyik berbincang dan sekali-kali tertawa mesra.

Shen sangat syok, dia hampir tidak percaya hingga se per sekian detik Eric menyadari keberadaannya. Terlihat Eric sedikit tertegun memandang Shen, namun anehnya Eric hanya tersenyum simpul dan melanjutkan ngobrol dengan wanita yang duduk dihadapannya. Seolah, Eric tidak menerima kehadiran Shen di sana dan seolah Eric tidak pernah mengenal seorang Shen, kekasih yang 3,5 tahun dipacarinya. Shen yang sangat penasaran tergerak untuk mendekati meja itu. Setelah menerima pesanan makanannya ia mencoba untuk memberanikan diri mencari meja di dekat Eric. Seolah Tuhan mendengar doa Shen, ternyata ada meja kosong, 2 meja agak ke barat dari meja Eric. Namun, lagi-lagi Eric hanya memandang sekilas, dan kali ini tanpa senyum. Senyuman dan tawa renyah Eric hanya untuk wanita itu seorang yang samar-samar didengar Shen bernama kalo tidak Sally atau Cathly.

Hati Shen menjadi tidak karuan, bingung pada semuanya. Mengapa dia melihat Eric, mengapa Eric ada di sana, mengapa Eric bersama wanita lain, mengapa Eric bersikap sangat dingin padanya dan mengapa semua ini harus terjadi. Dunia seakan menjadi dunia sulap pikir Shen, air mineralnya terasa kopi pahit, makanannya terasa basi. Namun Shen seolah terpaku, berusaha mendengarkan percakapan mereka, tapi tak pernah berhasil, hanya sepenggal-sepenggal. Apa kata mereka.. Amerika? California? hidup bersama? cincin? Jalan? Apa maksudnya itu semua.

Sepertinya Shen sudah duduk sekitar 15 menit yang lalu, namun baginya terasa beberapa detik ketika Shen menangkap sekelumit Eric lewat di sampingnya. Sang wanita merangkul tangan Eric begitu mesranya. Namun, satu lagi keanehan yang ditangkap Shen, dia tak mencium bau Eric, bau parfum khas Eric. Bukan karena Eric berganti parfum, tapi memang tidak ada bau apapun. Pandangan Shen jadi kabur, tertutup bulir-bulir air mata yang sekuat tenaga ia tahan. tergenang di pelupuk matanya, namun akhirnya jatuh satu per satu. Semua itu berulang sampai ia sampai di rumahnya.

...

Malam itu, malam pertama ia ditinggal orang tuanya pergi jauh. Shen yang saat itu masih duduk di kelas 2 'High School of Monner City' menelpon Eric, memberitahukan kalau ia merasa takut sendirian di rumah. Eric kemudian datang dan menemani Shen di rumahnya. Layaknya sebagai sepasang kekasih yang dimabuk cinta, malam yang hangat itu, tanpa pengawasan orang tua, Eric datang dengan gagahnya, mempesonakan ketampanannya dan menyebarkan harum tubuhnya. Tanpa akal sehat mereka melakukan hubungan. Malam itu malam yang terindah bagi keduanya. Namun, mereka tidak sadar bahwa malam itu merupakan awal bencana bagi hubungan mereka.

Kurang lebih 3 minggu setelah kejadian itu, tepat setelah orang tua Shen datang dari perjalanan bisnis mereka. Pagi-pagi sekali Shen merasa kalau perutnya mual luar biasa, kerjanya bolak balik kamar mandi untuk muntah. Ibunya segera memijat badan Shen dengan minyak jahe karena menurut Shen ia hanya masuk angin akibat beberapa malam terakhir Shen sering bergadang untuk mengerjakan tugas sekolah yang semakin menumpuk. Orang tuanya pun mahfum sampai 3 hari berturut-turut keadaan Shen tak kunjung membaik. Sudah hampir 1 minggu Shen tidak dapat pergi sekolah. Eric pun sempat menjenguk 2 atau 3 kali.Dan badan Shen terlihat lemas. Ibu Shen, Martha, mulai berpikir yang tidak-tidak, ia tanpa bertanya pada Shen menyuruh Shen untuk cek kehamilan. Dan betapa terkejutnya kedua orang tua termasuk Shen sendiri setelah mengetahui bahwa Shen sudah hamil sekitar 2 minggu. Bu Martha mengamuk, beberapa perabot rumah beberapa pecah, ayah Shen tertunduk di pojok rumah sedangkan Shen menangis dan mengurung diri di kamar. Eric pun disalahkan untuk masalah ini. Sialnya setelah orang tua Shen meminta pertanggungjawaban ke rumah keluarga Eric, mereka memilih menutup kedua telinga mereka, menganggap bahwa kabar yang mereka terima hanya fitnah dari orang yang ingin menjatuhkan perusahaan keluarga Eric yang sedang di atas daun. Sikap Eric pun tak lebih jauh dari sikap keluarganya. Yang semula Eric begitu manis dan memuja Shen, kini ia menjauh dan tidak pernah datang lagi menjenguk Shen. Komunikasi terakhir hanyalah lewat setangkai tulip putih yang Eric kirimkan bersama sehelai kertas bertuliskan kalau ia dan keluarganya akan pindah ke California karena harus mengurus perusahaannya di sana yang baru berkembang.

Shen patah semangat. Kedua orang tua Shen yang semula sempat memaki-maki anaknya sendiri, namun setelah melihat kondisi Shen yang seperti orang gila akhirnya timbul rasa iba. Mereka selalu menguatkan Shen walau mereka sendiri terluka, menahan airmata di hadapan Shen yang begitu tidak berdaya. Mungkin karena stres yang berkepanjangan, janin yang dikandung Shen akhirnya gugur saat belum genap mencapai usia 5 bulan. Setelah pemulihan kondisi selama 1 bulan, Shen kembali ke sekolah dan menyelesaikan pendidikannya. Setiap pekan, Shen menjalani terapi kejiwaan di tempat seorang psikiater, temannya Bu Martha. Program pemulihan jiwa ini berjalan hampir 2 tahun, dan sampai kejadian di bandara kemarin sebenarnya Shen sudah mulai melupakan Eric namun seakan film romansa cinta Shen dan Eric kembali terulang di memori ingatannya.

...

Shen merenung di pinggir pantai, angin semakin keras menerpa syalnya yang menari-nari. Walaupun orang tuanya sedang tidak ada, tapi setelah pulang dari bandara kemarin Shen memutuskan untuk pergi ke psikiaternya. Kembali, Shen diberi obat penenang tambahan. Dia sudah meminumnya sebelum turun ke pantai ini. 
Teringat perbincangan Shen dengan Loyra, teman sekolahnya dulu yang juga bekas tetangga Eric di kota ini. Mereka tidak sengaja bertemu di kedai roti kemarin sore. Kabar mengejutkan kembali ia dengar dari mulut Loyra, tentu tentang Eric. Pertama, Shen menceritakan kepada Loyra tentang pertemuannya dengan Eric. Tidak disangka, Loyra syok mendengarnya, seakan tidak percaya bahwa Shen dapat bertemu Eric.  Dari Loyra, Shen semakin bingung mendengar kabar bahwa ternyata Eric sudah meninggal dalam kecelakan lalu lintas di Amerika sekitar 6 bulan yang lalu. Namun, ia sangat yakin kalau yang ia temui di bandara kemarin memang benar Eric..ya..benar,,ia Eric,, tidak salah lagi. Loyra kembali melanjutkan bahwa Eric meninggal ketika ia dalam perjalanan bulan madu bersama kekasihnya Cathly di Amerika, kabarnya Eric pun terpaksa menikahi Cathly karena Cathly hamil walau akhirnya diketahui kalau janin Cathly bukan berasal dari Eric tapi laki-laki lain. Eric bertemu Cathly di bar saat pesta perusahaan ayah Cathly yang mengundang perusahaan ayah Eric, dan Eric datang sebagai perwakilan perusahaan. Menurut berita, Eric dan Cathly memang sempat menjalin hubungan tapi kelakuan Cathly yang agak liar dan suka berganti pasangan membuat ayah Cathly mengawinkan paksa Cathly dan Eric. Dalam perjalanan perkawinannya, mereka sering cekcok dan puncaknya saat mereka disuruh ayah Cathly berbulan madu di Amerika, mereka malah bertengkar di dalam mobil dan tidak sengaja keluar jalur dan menabrak sebuah truk barang yang melintas berlawanan dengan mereka. Mereka tewas seketika.

...

Angin pantai kembali bertiup, separuh awan kelam sudah menutup bayang di atas laut. Shen merasa Eric kemarin adalah Eric, tapi secara fisik mungkin bukan Eric, tapi itu jiwa Eric. Semua kebingungannya mungkin ada dasarnya, Eric mungkin sudah menyadari kesalahannya meninggalkan Shen, dan moment kemarin di bandara adalah moment ketika Eric ingin meminta maaf tapi hati Shen sudah terlanjur beku makanya Eric hanya berani tersenyum simpul, makanya Eric tidak beraroma seperti biasa. Mungkin Eric sudah sadar, ia merasa bahagia di alam sana karena sudah membayar rasa sakit hati Shen dengan Eric juga merasakan karma dari masalahnya dengan istrinya. Mungkin Eric bersama wanita itu datang untuk menunjukkan pada Shen kalau mereka adalah pasangan yang serasi untuk pengalamannya pernah menyakiti orang lain. Mereka ingin mengatakan kalau mereka pantas bersama. Dan bukan Shen yang tidak pantas untuk Eric tapi Eric lah yang tidak pantas untuk Shen.

Shen menarik nafas dalam, beranjak balik ke rumahnya. Sebentar berhenti, menoleh  ke arah laut. Sedikit berbisik namun tajam, ia berucap... "Selamat tinggal Eric,,, nikmatilah hukumanmu di sana bersamanya.. tak usah menemuiku lagi".

Selasa, 03 Mei 2011

FUJITA corp. for You

Diposting oleh nbubble46 di 20.01 0 komentar

Telah hadir...
FUJITA (Fashion Unique of Jilbab Kata)
Produksi FUJITA corp.

Khusus bagi kamu-kamu muslimah yang fashionable, tidak usah khawatir ketinggalan mode. Ukhti bisa menjalankan kewajiban berjilbab namun tetap bisa ber-fashion ria.

Kami menawarkan fashion jilbab terbaru, asli buatan tangan (man made) dengan kain berkualitas dan  dipercantik tempelan aplikasi yang membentuk kata-kata tertentu menggunakan kain tradisional khas Kalimantan Selatan yaitu kain Sasirangan. Promo kami...khusus hanya Rp 25.000,00, ukhti bisa mendapatkan jilbab terbaru ini secara murah meriah namun bergengsi tinggi.



Ayo, ga usah ragu, karena ukhti juga bisa pesen warna jilbab serta kata-kata yang ingin ditempel dijilbab ukhti. Buruan !!!
 

Nbubble46 Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal