Mawar itu kembali menumbuhkan
duri
Menggugurkan satu per satu
kelopak merahnya
Aku memungutinya dari atas
tumpukan daun berry yang mengering
Satu kepik yang kucium harumnya
Harum air mataku
“Kamu mau kemana, Dev?” tanyaku.
“Mengurus visa, Bel. Kemarin petugas
imigrasi sudah menghubungiku, katanya visa Mrs. Giesel sudah selesai”
“Untuk bos mu itu?”
“Ya, kau mau ikut?”
“Tidak, aku banyak kerjaan hari ini.
Berkas perkara Mr. Barl perlu banyak perbaikan” keluhku.
“Oh ya sudah, aku pergi ya”
“Hati-hati, Dev”
“Iya, sayang”
Harum coffe latte yang sering
kusaduhkan
Tumpah ruah dalam cangkir merah
desain naga emas dari China
Hirupan terakhir yang kudengar
Seperti irama orkestra yang
galau
Menyeret hati untuk ikut
berteriak
Sesuai rentangan tangan
konduktor
Menyuruhku untuk menampar
wajahmu
“Kami memutuskan untuk menikah di
Burma, Bel”
“Kau, keterlaluan, Dev! Jadi selama
ini kau bukan saja sudah jadi antek Mrs. Giesel tapi sudah jadi kekasih gelapnya”
“Iya benar, kenapa? Dia sering
memberiku uang. Sejahtera aku bersama dia, haha”
“Dan kau bisa-bisanya tertawa
setelah kau tusuk aku dari belakang? Kau kejam, Dev”
“Maafkan aku, Bel. Aku ingin
memberitahumu sejak lama. Hanya saja kau terus memberiku perhatian disaat aku
masih belum mendapat kepastian dari Giesel”
“Dan akhirnya kau pun begitu jujur
mengakuinya? Pergilah manusia tengik!”
“Hanya ini yang kubisa berikan
sebagai balasan perhatianmu, Bel”
“Aku tak butuh balasan darimu, Dev.
Yang kuinginkan hanya kau segera enyah dari pandanganku!”
Mawar merah yang kau tinggalkan
Kubiarkan berserak di bawah
pengkhianatan
Ku berduka di atas cincin
pertunangan
Yang kutanam di atas rimbunan
daun berry di taman kota Paris
Salju mulai turun...
0 komentar on "Paris Yang Tertinggal"
Posting Komentar